Maharaja Yang Dinobatkan di Mandala

Ada satu peristiwa yang begitu penting dan monumental yang pernah terjadi Tatar Pasundan. Sebuah momen yang pada saat itu terjadi, para penghuni langit dan para punggawa perut bumi seakan menumpahkan seluruh restunya ke Bumi Pasundan.

Restu pangestu yang melimpah berupa kemakmuran, kesejahteraan hingga kemaslahatan berkepanjangan yang sepertinya tidak ada duanya bagi masyarakat Sunda Kuno pada saat itu.

**

Semua punggawa, rama dan resi sudah bersiap di tempatnya masing-masing. Para rama sudah berkumpul untuk duduk dengan posisi khidmat. Para tetua yang menjabat sebagai resi, memimpin upacara spiritual ini sembari bersiap di posisi masing-masing.

Resi mengatur dan melaksanakan segala kepentingan keagamaan, spiritualitas dan hubungan kerajaan dengan para dewata.

Mereka-mereka ini dididik sedemikian rupa agar menaati aturan ya Rama ialah para ahli negara yang bertugas menyelesaikan banyak urusan-urusan rakyat Pasundan. Ia mengatur kemasyarakatan, pelaksana tata aturan raja, hingga juru kenegaraan yang bertanggungjawab membangun hubungan dengan rakyat.

Mereka duduk khusyuk di belakang batu pipih yang keberadaannya mewakili persatuan tiga kosmos; dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah. Batu pipih ini merupakan batu sungai berbahan andesit yang dibentuk sedemikian pipih agar bisa menjadi alas duduk.

Tentu bukan sembarang batu sungai, karena para ahli perbatuan keraton seperti memiliki formula sendiri dalam memilah kepadatan dan kualitas batu untuk dijadikan alas duduk peristiwa penting yang mungkin hanya akan mereka saksikan sekali dalam seumur hidup.

Titik sentral dari peristiwa ini adalah sosok yang sepertinya cukup lama diidam-idamkan oleh masyarakat Pasundan. Sebuah sosok ideal yang sudah lama dilantunkan dalam kidung-kidung malam.

Lonceng kecil berbunyi dari kejauhan. Tombak-tombak tinggi para punggawa sudah mulai terlihat dari ufuk mata. Payung-payung emas sudah mulai menyambahi kawasan sakral yang sudah disiapkan para resi.

Sosok yang menjadi titik sentral sudah menyebarkan kharismanya kepada alam di sekitarnya. Posturnya tegap berisi walau umurnya sudah tidak lagi muda, sorot matanya setajam elang yang waspada, garis wajahnya setegas deru angin barat daya, namun lintang parasnya seteduh Telaga Warnawijaya. Ialah Sang Prabu Jayadewata.

Degup jantung para rama yang sudah duduk sedari tadi semakin terdengar. Riuh dedaunan silih berganti berdesik syahdu dibuai serumbat angin teduh. Daun-daun kering pohon beringin perlahan mulai berjatuhan di tapak lantai kabuyutan.

Denting lonceng dengan ritme yang konstan semakin terdengar mendekat. Derap langkah para punggawa mulai menapaki mandala utama.

Di tengah para punggawa, Sang Prabu menatap kemandalaan dengan sorot mata yang takzim. Para resi yang sudah menunggu mempersilahkan Sang Prabu untuk duduk di alas batu penobatan yang sudah dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan khazanah kosmologis Kabuyutan Sunda.

Batu penobatan beralas dingin itu menghadap ke utara. Tepat di belakang Sang Prabu duduk bersila, terpacung sebuah batu lingga setinggi setengah meter sebagai sebuah simbol penciptaan dan awal mula. Tepat di barat daya, berdiri dengan gagah dan kokoh Gunung Salak yang sedang khidmat menyaksikan peristiwa ini.

Seorang resi dengan pakaian yang serba putih mengambil cawan perunggu berisi air jernih serta beberapa batang lidi kecil. Lidi-lidi itu dicelupkan ke cawan dengan perlahan, lalu dipercikkan bulir-bulir airnya kepada Sang Prabu. Ritual ini sudah cukup lama mengakar di Sunda Kuno sebagai simbol dari melindungi Sang Prabu dari pengaruh roh jahat.

Mantra dan jampi didengungkan dengan tertib dan tentram. Di sisi batu penobatan, sebuah penutup kepala yang agung nan luhur sudah disiapkan. Penutup kepala ini pun bukan sembarangan, karena ia menyimbolkan kuasa serta kekuatan Tatar Pasundan.

Ia diselimuti lapisan emas, ukirannya tiada dua, bentuknya yang menanjak seakan berbicara bahwa ini adalah sarana penyambung antara Raja dan Dewanya. Penutup kepala ini bahkan memiliki gelar yang tidak main-main, ia bergelar Binokasih Sanghyang Pake—sebuah mahkota yang siap disemayamkan dengan agung di kepala Sang Baginda Prabu.

Setelah mahkota anggun itu menunggu lama di atas dipan, akhirnya ia mulai diangkat oleh resi dengan takzimnya. Dengan rambut ikal yang terurai, Sang Prabu menerima Mahkota Binokasih bersemayam dengan luhur di atas kepalanya.

Resi melantunkan sebuah maklumat dengan lantang hingga membelah keheningan—seakan ini sedang diberitakan untuk para penduduk semesta.

Lukisan oleh Gunawan, Agus Noor dan Sobirin (Sumber: Galeri Bumi Parawira)

“Diwastu diwingaran, Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.”

Ini adalah gelar maharaja yang dilimpahkan bagi Sang Prabu. Sebuah mandat penting karena Sang Prabu kini menjadi Maharaja yang berhasil menyatukan dua kerajaan sekaligus.

Gelar maharaja yang sudah ratusan tidak dimiliki Tatar Pasundan karena sebelumnya dua kerajaan tersebut terbelah menjadi dua. Kini, di bawah Sri Baduga Maharaja, dua kekuatan peradaban Sunda itu bersatu dan membentuk satu barisan yang sejajar dan setara di bawah panji Kerajaan Pajajaran.

Dengan dipasangnya mahkota ini, mandat seluruh Tatar Sunda berpindah pada pundaknya, dua kerajaan bersatu di bawah perintahnya, dan Bumi Pasundan berserah diri pada kasih-sayangnya.

Mantra dan panjatan do’a-do’a kembali dilafalkan oleh para rama dan resi, seakan kembali meminta restu kepada para seluruh penghuni langit dan para penduduk perut bumi agar Tanah Pasundan diberikan kelimpahan rahmat dan rasa aman. Dan agar maharaja yang baru dinobatkan bisa terhindar dari kemalangan dan membawa kegemilangan.